Kebudayaan Asmat sebetulnya sudah dikenal oleh dunia pertama kali pada awal abad ke-20 melalui ekspedisi yang dilakukan oleh tim dari Amerika Serikat dan Inggris, maupun Belanda. Namun masyarakat Asmat baru mendapatkan perubahan gaya hidup, pendidikan dan agama dari misi gereja katolik dari tahun 1950-an.
Adalah Mgr. Alfonds Sowada. OSC yang kala itu menjabat sebagai Uskup Agats merasa perlu menyelenggarakan lomba ukir. Untuk itu pertama kalinya diadakan Pesta Budaya Asmat pada tahun 1981 yang hanya diikuti oleh 30 seniman Asmat.
Pada tahun 1992 saat wilayah Asmat masih tergabung dengan kabupaten Merauke, Pesta Budaya Asmat mendapat dukungan Pemda Kabupaten Asmat hingga tahun 2002. Baru tahun 2003 saat terbentuknya Kabupaten Asmat, Pesta Budaya Asmat didukung oleh pemda setempat.
Suku Asmat dengan 12 rumpun, tersebar di wilayah daratan rawa hingga pegunungan di wilayah Papua bagian barat daya. Dahulu banyak terjadi perang suku. Apalagi dengan adanya budaya ngayau dan kanibalisme, dimana saat perang, lawan yang dikalahkan “dikonsumsi” dan tengkorak serta tulang belulangnya dijadikan aksesoris sebagai lambang kekuatan. Namun sejak masuknya pengaruh agama dan pendidikan, budaya itu sudah ditinggalkan.
Kini perang antar kelompok diganti dengan perang kreatifitas melalui karya ukiran, pahatan, anyaman para insan Asmat.