Ariah, legenda gadis Betawi yang hidup di abad ke-19. Ia melawan ketidakadilan, memperjuangkan harga dirinya, supaya lepas dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Ia tidak hanya melawan untuk diri dan keluarganya, tetapi juga untuk kaum dan bangsanya.
Itulah inti cerita dari pentas drama musikal Ariah. Pementasan yang sengaja digelar untuk memeriahkan HUT DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Jokowi, meminta kepada Atilah Soeryadjaya untuk mengadakan sebuah pertunjukkan megah untuk merayakan usia Jakarta yang ke-486 tahun. Atilah yang pernah sukses mementaskan drama tari Matah Ati, mengambil kisah legenda rakyat Betawi sebagai temanya.
Panggung besar
Tidak tanggung-tanggung, Jay Subiyakto sebagai penata artistik, merancang panggung dengan panjang 72 meter, lebar 48 meter, dan tinggi 10 meter. Panggung itu dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu setinggi 3 meter, 7 meter, dan 10 meter. Yang unik adalah ada jalan menyambung antara ketiga tingkat tersebut. Masing-masing jalan itu punya kemiringan yang berbeda, antara 15, 20, dan 35 derajat.
Pertunjukkan kolosal yang melibatkan 200 penari, 120 pemusik dan ratusan crew panggung ini dipersiapkan hanya dalam waktu 5 bulan. Ariah dipersiapkan secara inovatif dengan tim kreatif yang solid. Melibatkan ahli budaya, ahli sejarah , ahli silat Betawi dan ahli gerak tari.
Drama musikal Ariah dipentaskan pada tanggal 28 – 30 Juni 2013 tepat di kaki Monumen Nasional. Tata panggung yang megah didukung oleh video mapping yang menyajikan setting panggung dengan warna dan gambar yang unik. Bahkan Tugu Monas juga diberi pantulan grafis tersebut. Sehingga Monas tidak hanya sebagai latar belakang, tetapi juga menjadi bagian dari panggung dan cerita.
Tidak hanya itu, panggung pun disinari dari 2 buah menara lampu di sisi dan kanan panggung. Seorang visual desainer asal Kanada, Axel Morgenthaler sengaja didatangkan untuk mengarahkan pancaran sinar warna-warna di panggung yang menambah emosi pertunjukkan yang disajikan. Ditambah dengan semburan api dan kembang api pentas Ariah semakin meriah.
Alur cerita
Ariah bersama saudarinya Mpok dan ibunya Mak Emper, hidup menumpang di emperan rumah Tuan Mandor. Setelah menginjak usia belia, ia tidak hanya tumbuh menjadi gadis yang cantik tetapi juga pintar. Ia mengajak teman-teman sebayanya untuk belajar membaca dan berlatih silat.
Kecantikannya menjadi incaran banyak lelaki, termasuk Tua Mandor dan Pengusaha kaya Oey Tambah Sia. Namun Airah justru jatuh hati kepada anak pemilik padepokan pencak silat tempat ia berlatih, Juki.
Tuan Mandor mengancam akan mengusir Ariah dan Keluarganya jika tidak mau dipersunting. Sedangkan Oey Tambah Sia menggunakan centeng-centengnya, Piun dan Sura untuk memaksa Ariah mau menjadi selirnya.
Saat itu pula, pemerintah penjajah memberlakukan tanam paksa. Tuan Tanah semakin sewenang-wenang. Semangat memberontak menggelora di antara petani, termasuk menggugah Ariah yang mengajak teman-temannya untuk melawan.
Pada suatu saat, kala jalan pulang ke rumahnya, Ariah dihadang oleh Piun dan Sura. Dengan ilmu silat yang dimilikinya, ia melawan, mempertahankan martabat dan kehormatannya. Walaupun akhirnya tewas untuk membela dirinya.
Menonton dari kejauhan
Dibuai angin malam dan beratapkan langit Jakarta yang cerah, penonton disajikan olah gerak dan tari ratusan penari. Namun jarak 40 meter dari bibir panggung dan penonton membuat interaksi menjadi jauh. Di panggung yang amat besar ini, membuat mata penonton berkejaran melihat berbagai sisi panggung untuk melihat secara utuh jalannya cerita.
Akting Fajar Satriadi sebagai Juki, Ida Sunaryono sebagai Ariah, Yuyun Arfah sebagai Mak Emper dan Anggiyatma P. Messofanti sebagai Oey Tambah Sia serta Iyoq Kusdini sebagai Tuan Mandor hanya dinikmati dari kejauhan.
Tapi itulah Airah, kemegahan dan ke-kolosal-annya yang memang ditonjolkan. Dengan cerita yang ditulis Atilah Soeryadjaya, tata panggung karya Jay Subiyakto dan iringan musik Erwin Gutawa, bersama anggota tim kreatif, mampu memberikan tontonan berbeda bagi masyarakat Jakarta.
maju terus buat balada gadis betawi