Pada Sabtu Sore di Pantai Tanjung, ratusan anak dengan kulit dekil bercampur lumpur, berkumpul sambil menari. Kadang mendesis, kadang berteriak, meliuk-liukan badannya dan menari-nari. Di tanggal 29 Agustus 2015 itu, bukan hanya 700 seperti yang dimumkan, tetapi 860 anak dari kelas SD – SMA di Belitung bersama-sama menarikan Tari Pendulang Timah.
Tari Pendulang Timah menajdi puncak rangkaian pentas seni budaya dari masyarakat Belitung yang menjadi bagian dari Festival Laskar Pelangi 2015. Festival yang berlangsung sejak Kamis, 27 Agustus 2015 memang menjadi event tahunan di pulau yang kini dijuluki Negeri Laskar Pelangi.
Tarian yang berasal dari ide Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, ingin menggambarkan keprihatinan akan kehidupan anak-anak di Belitung yang miskin dan banyak yang putus sekolah akibat bekerja di tambang timah.
“ Awalnya tarian ini ditarikan oleh 15 orang saja. Namun dengan perkembangan yang ada, ternyata banyak seniman Belitung yang lulusan ISI Yogyakarta, mereka mengembangkan tarian ini hingga sekarang menajadi tarian kolosal, “ ujar Andrea Hirata beberapa waktu yang lalu.
Dalam tarian ini diungkapkan bagaimana anak -anak pekerja timah menghadapi kesulitan dan bahaya. Dari berkubang dalam lumpur, dipatok ular hingga beratnya pekerjaan. Terlena dengan upah, mereka putus sekolah dan kini disaat nilai timah anjlok, banyak perusahaan tambang bangkrut dan pekerjanya jatuh miskin. Tidak sedikit juga mereka yang menjadi korban kecelakaan saat mendulang timah.
Pantai Tanjung Tinggi pekan lalu menjadi arena panggung yang megah. Pantai yang luas dengan pasir putih yang lembut, dipenuhi oleh kerumunan penonton yang mengililingi pentas tari. Suasana alami menambah sakralnya tarian tersebut. Rangkaian tarian tidak hanya diisi dengan tarian tetapi juga dengan drama teaterikal dan pembacaan puisi. Dengan suksesnya Festival Laskar Pelangi, tahun depan diharapkan festival ini menjadi berkelas internasional dan Tari Pendulang Timah semakin indah saat dipentaskan nanti.