Ubud Food Festival (UFF), kembali dihadirkan di Ubud dari 30 Juni hingga 2 Juli. Dalam tiga hari yang penuh kegiatan, para chef yang ditampilkan akan memasak inovasi terbaru mereka, didampingi oleh ketepatan citarasa yang tidak lekang waktu, sementara para pakar makanan kita akan membantu kita memahami teknologi makanan, praktik-praktik keberlanjutan serta metode perlindungan tanah terkini.
Program UFF nanti akan menampilkan diskusi panel yang menantang pikiran, masterclass yang mendalam, lokakarya, wisata makanan, long-table lunch dan dinner, kegiatan memasok makanan dari hutan, wisata jalan kaki dan pesta koktail. Di malam harinya, Anda dapat bersantai di Festival Hub kami sembari menikmati kios makanan terbaik di Bali, diiringi dengan pemutaran film, live dan DJ music.
Tema festival tahun ini, ‘Tanah’ (Soil), adalah konsep inti yang mendasari beberapa acara diskusi yang bertujuan untuk memberi penghormatan kepada ekosistem kehidupan terpenting yang merawat kehidupan manusia, sembari mengikatkan kita pada sistem makanan, warisan kebudayaan dan tradisi kita.
“Sebagai sumber kehidupan, tanah senantiasa memberikan kita apa yang kita butuhkan. Tahun ini kami ingin memberi penghormatan bagi peranan penting dan fundamental yang ia mainkan. Tanah kita adalah seorang ibu spiritual yang bijak, yang seringkali kita lupakan, di waktu bersamaan saat ia selalu memberi kita makan, kita juga perlu memberinya perlindungan,” ujar UFF Founder and Director, Janet DeNeefe.
Akan hadir dalam festival tahun ini seorang talenta kuliner Filipina Johanne Siy, yang dinobatkan sebagai Chef Perempuan Terbaik Asia dari lembaga Asia’s 50 Best Restaurant. Siy telah bekerja di beberapa dapur terbaik dunia dan saat ini sedang mengepalai restoran Singapura Lolla, yang telah menyabet beberapa penghargaan. Di Mandapa, a Ritz-Carlton Reserve, ia akan menampilkan kuliner Eropa modern yang terilhami makanan Asia, dengan sentuhan Filipina.
Chef dan penulis makanan Indonesia Petty Pandean-Elliott, yang dikenal akan kreasi makanan Manado dan sajian Indonesia kontemporer penuh gairah yang ia sajikan, akan meluncurkan buku masak terbarunya, The Indonesian Table, lalu menyajikan sederetan kenduri di Amandari, hotel ikonik Ubud.
“Tema acara saya di UFF 2023 adalah The Balinese Table. Kami mengembangkan tema ini dari buku terbaru saya The Indonesian Table yang diterbitkan secara global oleh Phaidon bulan April tahun ini dan tentunya, kami juga akan menampilkan beberapa resep dari buku tersebut,” ujar Petty Elliott.
“Meski saya adalah orang Manado dari Sulawesi Utara, saya merasakan ikatan dan kedekatan mendalam dengan bahan-bahan makanan Bali. [Makanan Bali dan Manado] memiliki banyak kesamaan, melalui penggunaan rempah-rempah berbasis akar seperti jahe, lengkuas dan kunyit, namun juga sereh, daun limun, kelapa dan tentu saja cabai. Setelah berkunjung ke Bali beberapa kali dalam 3 dasawarsa terakhir, saya mulai menumbuhkan rasa hormat yang luar biasa terhadap budaya lokal dan menganggap diri saya beruntung bisa menjaga hubungan yang baik dengan chef dan food campaigners papan atas di Bali,” ia melanjutkan.
Ada juga LG Han, soerang chef yang mendapat peringkat nomor 11 dalam daftar 50 Restoran Terbaik di Asia tahun 2023 dan pemilik Labyrinth, yang pernah tiga kali mendapatkan bintang Michelin, yang akan tampil dalam sebuah special event di Capella Ubud yang akan merayakan bahan-bahan pangan lokal Bali.
“Saya juga bahagia bakal bisa mengunjungi Ubud sekali lagi; tempat ini selalu mendapat tempat istimewa dalam hati saya, saya telah mengunjungi Ubud empat atau lima kali dan saya selalu dibuat terkesan oleh bahan [pangan] dan kebudayaan yang terdapat di sana. Bagi saya, kesempatan pertama kali buat saya menggunakan bahan-bahan lokal dari Ubud untuk menampilkan citarasa Singapura sangatlah menarik. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mempromosikan citarasa Singapura untuk bisa dinikmati semua orang,” ujar LG Han.
Chef lokal Hans Christian, dari restoran August Jakarta, yang baru-baru ini mendapat penghargaan sebagai One to Watch oleh lembaga Asia’s Best 50 Restaurants akan memukau pengunjung dengan sajian khasnya di Mozaic lalu chef Filipino Ross Magnaye dari Serai, yang dinobatkan sebagai 2022 Restaurant of the Year oleh Time Out Melbourne, bersama dengan Thirdy Dolatre dan Nav Navoa dari HAPAG Manila akan menampilkan makanan Filipino modern yang asyik di Indus. Syrco Bakker akan hadir di festival setibanya ia dari Amsterdam, menampilkan makanan klasik Indonesia yang ia ramu dengan gayanya yang khas.
Peneliti makanan asli Italia, Gabriele Castagnetti, akan membagikan pelajaran yang ia dapatkan dari proyeknya dengan kenari Maluku, yakni gelato vegan Nth Wonder oleh FairFlavor, untuk sekaligus membahas misinya mempromosikan produk berbasis tanaman dan membantu para petani di Indonesia Timur.
Di antara beberapa pembicara tentang warisan kebudayaan kuliner, ada Dicky Senda, dari komunitas Lakoat.Kujawas di desa Taiftob, Mollo, Timor, yang telah mengembangkan sebuah perpustakaan warga terpadu dengan pusat arsip kearifan lokal, sebuah laboratorium pangan dan sebuah buku resep. Ia akan menampikan makanan Mollo dalam sebuah long table lunch di Casa Luna, bersama dengan Charles Toto, yang terkenal sebagai Jungle Chef, dari Papua.
Dari segi industri pertanian, A.A.Gede Agung Wedhatama dari Bali akan memimpin diskusi mengenai pertanian organik dan pelestarian tanah, sementara Amadeus Driando dari Tempe Movement akan membagikan pengetahuannya yang mendalam soal fermentasi tempe dan isu ketahanan pangan.
Lalu kami juga akan menampilkan Rahel Stephanie, pendiri Spoons – sebuah klub santap berbasis tanaman. Ia juga fokus untuk memasak makanan otentik Indonesia. Stephanie mengatakan bahwa dalam UFF tahun ini, ia akan menampilkan kedalaman dan kerumitan citarasa makanan berbasis tanaman Indonesia.
“Saya akan menyoroti bagaimana masakan berbasis tanaman juga bisa membawa kepuasan dan kenikmatan bagi yang menyantapnya. Melalui kegiatan saya, saya bertujuan untuk menyanggah kesalahpahaman bahwa makanan berbasis tanaman rasanya hambar, oleh karena itu rasanya tidak se-memuaskan jenis diet yang lain. [Sesi saya akan] memperkenalkan penggunaan bumbu dan bahan pangan Indonesia yang kreatif dapat memberikan rasa yang nikmat dan memuaskan,” ujar Stephanie.
Ia menambahkan bahwa ia juga ingin meralat representasi yang salah tentang kandungan nutrisi tempe – makanan Indonesia yang lumayan terkenal di dunia – di market luar negeri, dalam penampilannya di UFF tahun ini. “Di Barat, tempe dipasarkan sebagai sebuah ‘makanan super’ [yang kaya gizi] dan pengganti daging. Padahal, asal-usul tempe dari kebiasaan Jawa kuno sangat jauh dari citra ini: tempe dimakan sebagai sumber protein bagi mereka yang tidak mampu membeli daging.”
Karya seni UFF tahun ini dibuat oleh seorang seniman Bali berusia 14 tahun Bernama Ni Wayan Tiksna Gangga, dari Batuan, desa yang terkenal sebagai pusat seni rupa tradisional.
“Kami memilih seorang gadis muda untuk menciptakan desain tahun ini karena masa depan adalah milik anak muda dan perempuan memainkan peranan penting dalam melestarikan planet kita,” ujar DeNeefe.
Karya seni Gangga berfokus pada sistem kehidupan bawah tanah yang merupakan sumber gizi untuk semua bahan pangan yang kita santap, mulai dari buah-buahan tropis hingga nasi.
“Bahan-bahan yang saya gunakan untuk karya seni ini berasal dari alam, seperti bunga telang, kulit buah dan arak Bali. Saya memilih materi organik untuk mencerminkan konsep kebudayaan Bali yang mengutamakan keseimbangan antara manusia dan alam. Karya ini juga mengangkat isu pelestarian tanah,” ujar Gangga.